4 Alasan dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Najuasah Putra IAIN Langsa |
Pembaharuan Hukum Pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi Hukum Pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentralsosio-politik, sosio filosofik dan sosio cultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan Sosial, Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Penegakan Hukum di Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)/WvS sebagai Ius Constitutum merupakan warisan dari Kolonial Belanda telah tertinggal oleh kemajuan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan hal ini perlu diperhatikan pernyataan dari Konggres PBB yang berkaitan dengan pemberlakuan Hukum asing/ impor pada suatu Negara. Pada Konggres PBB mengenai “The Prevention of Crime and The Treatment of offenders” dinyatakan bahwa Sistem Hukum Pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/ diimpor dari Hukum Asing semasa zaman Kolonial) pada umumnya bersifat “Obsolete and Unjust” (Telah usang dan tidak adil) serta “Outmoded and Unreal“ (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai kenyataan. Dari pernyataan Konggres PBB di atas dikaitkan dengan keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/ WvS) yang sampai saat ini dipandang sebagai Kitab Induk Hukum Pidana sudah semestinya dilakukan pembaharuan.
Pembaharuan Hukum Pidana hendaknya sesuai dengan sosio politik, sosio filosofik dan sosio cultural masyarakat Indonesia. Di samping itu alasan yang sangat prinsip untuk melakukan pembaharuan Hukum Pidana adalah alasan Politik : Negara Indonesia yang telah tujuh puluh tahun merdeka adalah wajar mempunyai Hukum Pidana sendiri yang diciptakannya sendiri oleh karena hal ini merupakan simbol kebanggaan dari Negara yang telah bebas dari Penjajahan, alasan Sosiologis ; Pengaturan dalam Hukum Pidana merupakan pencerminan dari ideologi, politik suatu Bangsa di mana Hukum itu berkembang artinya bahwa segala Nilai-nilai sosial dan Kebudayaan suatu Bangsa itu harus mendapat tempat dalam pengaturan Hukum Pidana, alas an Praktis ;Dengan Pembaharuan Hukum Pidana yang baru akan dapat memenuhi Kebutuhan Praktik, sebab Hukum Peninggalan Penjajah jelas masih menggunakan Bahasa Belanda padahal kita sebagai Negara yang merdeka sudah memiliki Bahasa sendiri, tentu tidaklah tepat jika menerapkan suatu Aturan Hukum berdasarkan Teks yang tidak Asli.2 Dari ketiga alasan untuk dilakukan Pembaharuan Hukum Pidana tersirat bahwa di dalam melakukan pembaharuan Hukum Pidana seyogyanya dilakukan secara menyeluruh dan bersifat komprehensif dan tidak fragmentair serta disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada dan hidup di masyarakat sehingga Hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum) lebih mendekatkan pada karakter masyarakat Indonesia yang bersifat monodualistik dan pluralistik.
1. PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA ALASAN POLITIK
Alasan politis, indonesia yang memperoleh kemerdekaan sejak tahun 1945 sudah wajar mempunyai KUHP ciptaan bangsa sendiri. KUHP dapat dipandang juga sebagai lambang dan kebanggaan suatu negara yang telah merdeka dan melepaskan diri dari kungkungan penjajahan politik bangsa asing. Apabila KUHP suatu negara yang dipaksakan untuk diberlakukan di negara lain, maka dapat dipandang dengan jelas sebagai lambang atau simbol dari penjajahan oleh negara yang membuat KUHP itu.
Adapun upaya mencapai suatu keselarasan antara Induk (KUHP) dengan segala peraturan yang bernaung di dalamnya, guna mencapai keselarasan antara KUHP dengan Undang-Undang Khusus dalam sistem pemidanaan maka perlu adanya suatu perubahan di dalam tubuh KUHP. Dimana dalam perkembangannya yang melatar belakangi perlunya perubahan (penataan) dalam tubuh KUHP antara lain:
1. KUHP dianggap tidak dapat menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru.
2. KUHP kurang sesuai dengan nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat.
3. KUHP kurang sesuai dengan perkembangan pemikiran/ide dan aspirasi tuntutan/kebutuhan masyarakat (nasional/internasional).
4. KUHP tidak merupakan sistem hukum pidana yang utuh, karena ada pasalpasal/delik yang dicabut.
Berbagai Upaya dilakukan oleh pakar hukum guna melakukan perubahan KUHP, dengan melakukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), dimana terdapat pembaharuan sistem pemidaan,di dalam RUU KUHP Tahun 2010 ada Buku I Ketentuan Umum, antara lain dapat dilihat:
Sistematika Buku I konsep 2010
a. BAB I. Ruang Lingkup Berlakuknya ketentuan Peraturan Perundangundangan Pidana
b. BAB II. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
c. BAB III. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan
d. BAB IV. Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana
e. BAB V. Pengertian Istilah
f. BAB VI. Ketentuan Penutup.
Dari apa yang telah diuraikan bahwa Konsep KUHP baru terdiri dari enam (6) bab sedemikian sederhana di bandingkan KUHP yang berlaku saat ini yang masih terdiri dari Sembilan (9) bab, orientasinya lebih menitikberatkan kepada orang yang melakukan tindak pidana.
2. HUKUM PIDANA INDONESIA ALASAN SOSIOLOGIS
Alasan sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang. Ini berarti nilai sosial dan budaya bangsa itu dapat tempat dalam pengaturan hukum pidana. Ukuran mengkriminalisasikan suatu perbuatan, tergantung dari nilai dan pandangan kolektif yang terdapat di dalam masyarakat tentang norma kesusilaan dan agama sangat berpengaruh di dalam kerangka pembentukan hukum, khususnya hukum pidana.
Secara sosiologis, KUHP tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ini tentunya bertentangan dengan masalah kebudayaan, di sisi lain KUHP Belanda berdasarkan sistem kapitalisme, dan liberal. Sementara bangsa Indonesia berdasarkan kebersamaan, kekeluargaan. Maka dari itulah sudah tidak cocok bahwa KUHP untuk diterapkan di Indonesia. Alasan sosiologis menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa.
Hukum telah dipandang tidak saja sebagaimana alat untuk melakukan kontrol sosial pemerintah terhadap warga negaranya sebagaimana dikemukakan oleh Donald Black “Law is governmental social control” atau dengan kata lain hukum merupakan kehidupan normatif dari negara dan warga negaranya seperti halnya pembuatan hukum, penyelesaian hukum, maupun peradilan, hukum tidak hanya dipandang sebagai ketentan yang bersifat normatif akan tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang meliputinya.
Alasan yang bersifat sosiologis suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentangn apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
3. PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA ALASAN PRAKTIS
Alasan praktik. Sehari-hari untuk pembaharuan hukum pidana adalah karena teks resmi KUHP adalah teks yang ditulis dalam bahasa Belanda. Teks yang tercantum selama ini dalam KUHP disusun oleh Moeljatno, R. Soesilo, R. Trisna, dan lain-lain merupakan terjemahan belaka. Terjemahan “partikelir” dan bukan pula terjemahan resmi yang disahkan oleh suatu undang-undang. Apabila kita hendak menerapkan KUHP itu secara tepat orang atau rakyat Indonesia harus mengerti bahasa belanda. Kiranya hal ini tidak mungkin untuk diharapkan lagi dari bangsa yang sudah merdeka dan mempunyai bahasa nasionalnya sendiri. Dari sudut ini, KUHP yang ada sekarang, jelas harus diganti dengan KUHP nasional.
Alasan praktik. Sehari-hari untuk pembaharuan hukum pidana adalah karena teks resmi KUHP adalah teks yang ditulis dalam bahasa Belanda. Teks yang tercantum selama ini dalam KUHP disusun oleh Moeljatno, R. Soesilo, R. Trisna, dan lain-lain merupakan terjemahan belaka. Terjemahan “partikelir” dan bukan pula terjemahan resmi yang disahkan oleh suatu undang-undang. Apabila kita hendak menerapkan KUHP itu secara tepat orang atau rakyat Indonesia harus mengerti bahasa belanda. Kiranya hal ini tidak mungkin untuk diharapkan lagi dari bangsa yang sudah merdeka dan mempunyai bahasa nasionalnya sendiri. Dari sudut ini, KUHP yang ada sekarang, jelas harus diganti dengan KUHP nasional.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum pidana. Hal tersebut demikian penting, karena hukum pidana yang berlaku secara nasional sebagaimana pendapat Sudarto diata selain itu juga merupakan cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga haruslah berubah.
Upaya pembaharuan hukum pidana dalam pembentukan suatu RUU KUHP Nasional Merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat dihindari lagi, sebagaimana telah diuraikan di atas guna terciptanya penegakan hukum yang adil. Keamanan dalam naungan hukum didambakan oleh warga masyarakat yang mengalami ketakukan terhadap kejahatan (fear of crime) sehingga perlu upaya penanggulangan kejahatan melalui perundang-undangan pidana, dalam rangka menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana dengan sanksi pidanya. Artinya, adanya usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang pidana dengan sanksi pidananya merupakan bagian yang integral dari usaha perlindungan terhadap masyarakat.
4. PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA ALASAN ADAPTIF
Arti kata adaptif di KBBI adalah: mudah menyesuaikan (diri) dengan keadaan. Muladi mengemukakan bahwa pembaharuan hukum pidana indonesia alasan adaptif yaitu KUHP nasional di masa-masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan Internasional yang sudahdisepakati oleh masyarakat beradab.
Pembaharuan hukum pidana sudah menjadi kebutuhan yang mendesak untuk adanya perubahan mendasar dala rangka mencapai tujuan dari pidana yang lebih baik dan manusiawi. Kebutuhan tersebut sejalan dengan keinginan kuat untuk dapat mewujudkan suatu penegakan hukum (law enforcement) yang lebih adil terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum pidana di era reformasi ini. Suatu era yang sangat membutuhkan adanya keterbukaan, demokrasi, perlindungan HAM, penegakan hukum dan keadilan/kebenaran pada segenap aspek dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya KUHP secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat dari masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RUU KUHP yang sudah kesekian kalinya direvisi selayaknya segera dibahas oleh lembaga legislatif untuk disahkan.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.2 Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda tahun 1886.3 Dari hal tersebut di atas, terkandung tekat dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan.
KESIMPULAN
Pembaharuan Hukum Pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi Hukum Pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentralsosio-politik, sosio filosofik dan sosio cultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan Sosial, Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Penegakan Hukum di Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)/WvS sebagai Ius Constitutum merupakan warisan dari Kolonial Belanda telah tertinggal oleh kemajuan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan hal ini perlu diperhatikan pernyataan dari Konggres PBB yang berkaitan dengan pemberlakuan Hukum asing/ impor pada suatu Negara. Pada Konggres PBB mengenai “The Prevention of Crime and The Treatment of offenders” dinyatakan bahwa Sistem Hukum Pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/ diimpor dari Hukum Asing semasa zaman Kolonial) pada umumnya bersifat “Obsolete and Unjust” (Telah usang dan tidak adil) serta “Outmoded and Unreal“ (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai kenyataan. Dari pernyataan Konggres PBB di atas dikaitkan dengan keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/ WvS) yang sampai saat ini dipandang sebagai Kitab Induk Hukum Pidana sudah semestinya dilakukan pembaharuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A.Z. Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita.
Nawawi Arief, Barda, 2008, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Universitas Diponegoro.
Nawawi Arif, Barda, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Salam, Burhanuddin, 1987, Filsafat Pancasilaisme”, Jakarta: Rineka Cipta.
priyatno, Dwidja, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cetakan kedua, Bandung : PT Refika Aditama.
Efandi, Erdianto, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama.
Reksodiputro, Mardjono, 2007, Pengabdian Seorang Guru Besar Hukum Pidana, Jakarta: FH UI.
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Bandung: Refika Aditama.
Moeljatno, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Asdi.
Muladi, 2005, HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama.
Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alimni Bandung.
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Atmasasmita, Romli,1996, Sistem Peradilan Pidana, Persepektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung : Putra Abardin.
Prasetyo, Teguh, 2010, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung Nusa media.
Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar