Kondisi Sosial Dan Budaya Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam Dalam Tarikh Tasari'
Kondisi Sosial Dan Budaya Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam
Bangsa Arab
mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun bangsa
kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian, Nordic,
Alpine dan Indic.1 Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomaden).
Demikian ini karena kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir
kering dan minim turun hujan. Perpindahan mereka dari suatu tempat ke tempat lain
mengikuti tumbuhnya padang rumput (stepa) yang muncul secara sporadis di
sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan
badui Arab untuk kebutuhan makan binatang ternak seperti kuda, unta, dan domba.
Berbeda halnya
dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk pesisir, pertanian, peternakan
dan perdagangan, dapat berkembang dengan baik di daerah tersebut. Hal inilah
tentunya yang membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur dari pada
masyarakat pedalaman (badui).
Masyarakat,
baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan
identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang
luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah. Beberapa kelompok kabilah
membentuk suku dan dipimpin oleh Shaikh.2 Keadaan itu
menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Ciri-ciri ini
merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila
sesame kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan
antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang
kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan
rumah di Mekkah kala itu. Rumah-rumah Quraish sebagai suku penguasa dan
terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula
rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang
lebih rendah lagi, sampai kepada tempat –tempat tinggal kaum budak dan sebangsa
kaum gelandangan. Semua ini bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan
sama sekali.
Para wanita dan
laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun
tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima
orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal ini dinamakan hubungan poliandari.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak
dianggap aib bagi Mengotori keturunan. Banyak hubungan antara wanita dan
laki-laki yang diluar kewajarean, seperti :
1.
Pernikahan
secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang
menjadi wali wanita, lalu dia biasa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika
itu pula.
2.
Para
laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita
pelacur.
3.
Laki-laki
dan wanita bisa berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang
menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut
kemauannya.
4.
Pernikahan
Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada
laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami
mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki
kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
Maka tidak
heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas masyarakat ini. Rendahnya
harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari keadaan masyarakat yang suka
berperang tersebut.
Akibat tradisi
peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan
sejarah Arab pra-Islam langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab.
Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa
kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.3 Pengetahuan itu
diperoleh melalui syair-syair yang berada di kalangan para pe-rawi syair.
Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara
lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam
dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi
alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat badui pada dasarnya
tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari
bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan
dengan bangsa-bangsa yang masih dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Beda dengan bangsa lain, hamper
seluruh penduduk badui adalah penyair.
Lain halnya
dengan penduduk kota yang memiliki kamajuan peradaban, sejarah mereka dapat
diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalamai perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi
yang melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari
besi, bahkan sampai mendirikan kerajaan-kerajaan. Samap pada lahirnya Nabi
Muhammad SAW , daerah-daerah tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan,
sebagaimana diketahui bahwa daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara
Eropa dan Asia. Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir
bersyair. Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran
pembacaan syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan
ungkapan, tata bahasa dan kiasan.4
Fakta diatas
menunjukan bahwa pengertian Jahiliyah yng tersebar luas di antara kita perlu
diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat
untuk masa Jahiliyah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang
tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. (SKD)
NAMA :
NAJUASAH PUTRA
NIM :
2022017018
SEMESTER/UNIT : II / I
FAK. JURUSAN : SYARIAH /
HUKUM KELUARGA ISLAM
MATA KULIAH : TARIKH
TASYRI’
DOSEN :
LAILA MUFIDA LC.MA
DAFTAR
PUSTAKA
Mufrrodi Ali,
1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, hal. 5.
Yatim Badri,
2010. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, hal. 11.
A.
Shalabi,
1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, hal. 29.
Yatim Badri,
2010. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, hal. 12.
Komentar
Posting Komentar