Pandangan Psikologi Tentang Poligami dalam Hukum Keluarga Islam

------------------------------------------------------------------ 
Nama : Najuasah Putra
Nim : 2022017018
Mata Kuliah : Psikologi Keluarga
Program Studi : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syariah
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Zawiyah Cot Kala LANGSA
Dosen Pengampu ; Mariadi M.H i
------------------------------------------------------------------
email : nazwacane@gmail.com
------------------------------------------------------------------ 


       A.   ARTI POLIGAMI DAN PSIKOLOGI 
             1.  Pengertian “Psikologi”
           Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti : “ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya”. Jadi pengertian psikologi diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah, atau ilmu yang mempelajari tingkalaku seseorang, dan pribadi seseorang.
      2.  Arti Poligami.
                 Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan  dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.
            Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah monogamy, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.
            Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya,  makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu  peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.
            Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
            Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
            Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja 4 wanita.[1] 

B.   PANDANGAN PSIKOLOGI TERHADAP POLIGAMI
            Poligami adalah suatu hal yang dilakukan dengan suatu kesadaran manusia yang tumbuh dari keinginan manusia dengan berbagai alasan. Maka alasan poligami merupakan hal yang sangat disenangi oleh orang-orang yang berkeinginan dalam hal poligami. Kesadaran juga bisa diartikan sebagai kondisi dimana seorang individu memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal. Namun, kesadaran juga mencakup dalam persepsi dan pemikiran yang secara samar-samar disadari oleh individu sehingga akhirnya perhatiannya terpusat.  Ada dua macam kesadaran, yaitu:
1.  Kesadaran Pasif
            Kesadaran pasif adalah keadaan dimana seorang individu bersikap menerima segala stimulus yang diberikan pada saat itu, baik stimulus internal maupun eksternal.
2.  Kesadaran Aktif
            Kesadaran aktif adalah kondisi dimana seseorang menitik beratkan pada inisiatif dan mencari dan dapat menyeleksi stimulus-stimulus yang diberikan.  Jadi poligami merupakan suatu hal yang dilakukan dalam alam sadar pribadi seseorang, seperti penjelasan Sigmund Freud bahwa alam sadar adalah satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas. Jadi Poligami bisa terjadi seperti yang dikemukan oleh Carl G. Jung bahwa persepsi, ingatan, pikiran dan perasaan-perasaan sadar dan bekerja pada tingkat perasaan identitas dan kontinyuitas seseorang dan Ego seseorang yang dimiliki ditampilkan secara sadar pada dirinya, atau poligami terjadi karena pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi, atau penekanan kenangan pahit kedalam personal unconscious dapat dilakukan oleh diri sendiri secara mekanik namun bisa juga karena desakan dari pihak luar yang kuat dan lebih berkuasa. Atau suatau masalah yang terorganisir dari perasaan, pikiran dan ingatan-ingatan yang ada dalam personal unconscious. Setiap kompleks memilki inti yang menarik atau mengumpulkan berbagai pengalaman yang memiliki kesamaan tematik, semakin kuat daya tarik inti semakin besar pula pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Bahkan orang melakukan poligami karena ingatan yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang yang tidak hanya meliputi sejarah ras manusia sebagai sebuah spesies tersendiri tetapi juga leluhur nenek moyangnya. Bentuk pikiran ini menciptakan gambaran-gambaran yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan, yang dianut oleh generasi terentu secara hampir menyeluruh dan kemudian ditampilkan berulang-ulang pada beberapa generasi berikutnya.
            Maka Para psikologi juga melihat sesorang melakukan poligami karena banyak alasan dan sepertinya poligami bisa dibenarkan karena alasan-alasan tersebut. dan kalau melihat kembali sedikit penjelasan yang sudah diterapkan dalam pendahuluan bahwa  poligami ini merupakan solusi terhadap masalah tertentu. Dan bahwa Poligami dapat dibenarkan dengan ketentuan yang ketat, yang diatur oleh negara maupun agama. Misalnya, poligami mungkin bisa dibenarkan jika seorang suami ingin keturunan, namun sang istri tidak bisa memberikannya keturunan, karena alasan sakit dan sebagainya. Masalahnya, cerai bukanlah jalan keluar terbaik bagi sebuah rumah tangga. Jadi Poligami adalah jalan keluar yang terbaik. Sebab, istri pertama masih akan tetap mendapat nafkah dari suaminya. Sedangkan cerai bisa saja berakibat buruk bagi istri pertama. Si istri pertama tidak akan mendapat nafkah dan tidak bisa lagi berdampingan dengan lelaki yang dicintainya. Maka Tentu saja, suami harus berlaku adil sesuai dengan hukum yang berlaku. Walau bagaimanapun juga, pada kenyataannya, poligami ini merupakan suatu jalan yang dibenarkan, dengan syarat-syarat yang ketat, menurut hukum negara maupun hukum agama tertentu. Berikut ini beberapa alasan yang paling umum ditemui di masyarakat:  
1.  Istri tidak bisa memberikan keturunan.  
2.  Istri tidak bisa memuaskan pria untuk urusan ranjang, bisa karena alasan sakit atau karena 
     masalah lainnya. 
3.  Istri tidak bisa memberikan kepuasan suami, dalam hal rohani maupun jasmani. 
4.  Sang suami mencintai perempuan lain, sedang ia tidak ingin melepaskan istri sahnya. 
5.  Suami ingin meyalurkan hasratnya terhadap perempuan lain, dengan jalan yang dibenarkan. 
6.  Suami ingin menambah keturunan, sementara mungkin istri sudah tidak bisa lagi memberikan             keturunan, atau ingin keturunan dari perempuan lain.
7.  Pernikahan pertama tidak mendapat restui dari pihak keluarga, baik itu dari pihak pria atau                   perempuan.
8.  Merasa sanggup untuk berbuat adil, karena cukup materi dan cukup pengetahuan. 
9.  Suami tidak merasa bahagia dengan rumah tangga pertamanya, atau karena ada masalah lainnya.         Jadi dari Alasan-alasan diatas sangatlah mempengaruhi pribadi-pribadi atau untuk melakukan             poligami.[2]
            Pandangan pertama tentang pandangan psikologi tentang poligami dapat saya simpulkan bahwa poligami sekalipun sepertinya hanya sebatas untuk penyaluran hasrat seksual dan hanya untuk memuaskan keinginan-keinginannya namun dapat dibenarkan oleh seorang psikolog karena alasan-alasan yang jelas masuk akal, atau dibenarkan karena ada persetujuan pria dan wanita dalam rumah tangga yang bersangkutan. Jadi poligami di terima oleh ilmu psikologi sebagai hasil pembenaran karena alasan-alasan diatas.  

C.   PANDANGAN AGAMA TENTANG POLIGAMI
            Poligami dalam Islam merupakan praktik yang diperbolehkan (mubah, tidak larang namun tidak dianjurkan). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya ( Surat an-Nisa ayat 3,4: 4 ) yang artinya : 
" Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, ** maka (nikahilah) seorang saja,** atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.**Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim ". 3 " Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.** Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mas kawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. " 4



D.   DAMPAK YANG DI SEBABKAN KARENA POLIGAMI 
.      1.  Dampak Positif Poligami
1)      Mencegah perzinahan,
2)      Mencegah pelacuran,
3)      Mencegah kemiskinan,
4)      Meningkatkan ekonomi keluarga.

2.   Dampak Negatif Poligami
                    a. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan                      suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan                      biologis suaminya.
                    b. Dampak ekonomi: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada                                  beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam                                    praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri                                              muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak                           memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.[3] (SKD)










            [1] Achmad Kuzari, nikah sebagai perikatan, ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995 ).Hal.59.
[2] Mansour  Fakih,. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar. 1999).Hal.98.
[3] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, ( Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004 ).Hal.42-45.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Alasan dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Agama dan Lingkungan dalam Konsep Fiqih Al-Biah

Penerapan dan Sudut Pandang serta Pemberlakuan Hukum Keluarga Islam